Pic: Unsplash Rux Centea


DISCLAIMER: DIPASANG GEDE BANGET BIAR KELIHATAN GEDE BANGET (?)

Ini adalah sebwa isi otak yang sudah tertimbun di dalam inti bumi lalu erupsi ke permukaan dan meluber ke segala pelosok mbun-mbunan.

Ini adalah tanda tanya bukan penghakiman

Ini adalah buat mereka yang suka mengatakan demikian tapi tetap pacaran

Yang mengatakan demikian tapi nggak pacaran yawesben

Yang pacaran tapi nggak mengatakan demikian wah jempolku untukmu leben-leben

DISCLAIMER 2: Artikel ini diketik sambil ndoprok eek.


Halo. Insani datang.

Unggahan terakhir adalah TET akhir Desember dan hingga mau akhir Desember lagi Insani belum juga menampakkan diri di blog ini.

Menjelang usia yang akan segera uzur (baca: 24 tahun), dan mengingat negeriku yang semakin ngeri dibanding Halloween (eh kebetulan ini emang diketik pas Halloween), maka sebuah pemikiran yang gak penting-penting banget ini perlu dituliskan.

Mari kembalikan fungsi blog sebagai media penuangan pikiran tanpa ada yang melarang-larang selama isinya tidak cacian. CAKEP.

Pada suatu masa, hiduplah Insani yang begitu ingin meletakkan kerudungnya di atas kepala.

Insani yang cilik mentik itu singkat cerita belajar berkerudung hingga 3 tahun pertama.

Lepas-pasang-lepas-pasang, aduh hal biasa.

Di jalan, pedah ontelan, sampai kelas ... copot. Panas katanya.

Hingga masuklah ke tahun ke-4 yang membuat proses belajar berkerudung tadi sedikit naik tingkat menjadi komitmen.

Dan tak terlepas hingga masuklah ke tahun ke-9 sejak kali pertama kudung dia sematkan.

Di tahun ke-10, proses pembelajaran tadi berubah.

Kalau Valentino Rossi, bisa dibilang banting setir.

Nangis, tengah malam, kehidupan, pemikiran, pertanggungjawaban, Insani yang sudah tidak kecil itu pikirkan matang-matang.

Dan segala proses belajar, penyematan, komitmen berkerudung ... tanggal. Di tahun ke-10.

Dengarkan aku baik-baik:

Manusia ... berubah.

Terlihat buruk? Itulah yang dimaksud pertanggungjawaban.

Ada suatu masa Insani remaja membaca nasihat bijaksana, "I cannot control people's mind. So I control mine."

Kita nggak bisa mengatur orang-orang agar sepemikiran dengan kita, agar merasa senasib-sepenanggungan dengan kita. Seandainya semua manusia ingat ini, oh damainya bumi.

Tapi kan tidak.

Mereka memaksakan kehendak.

Seolah lepas kudung itu hal buruk. Total. Sudah.

Oke, oke, mari kita berpikir bersama:

Kalau lepas kudung hal buruk, lantas ...

Itu membuatmu merasa lebih baik?

Oh, tentu saja.

TENTU SAJA TIDAK.

Titik.

DISCLAIMER 3: BERKERUDUNG TIDAK MEMBUATMU LEBIH BAIK.

Dengarkan aku baik-baik.

Tidak ada satu keputusan apa pun yang membuatmu lebih baik dari orang lain. Kalau lebih baik dari kamu sendiri ... bisa. Tapi tidak dengan perbandingan orang lain.

Di sore yang cerah itu, yang haha hihi itu. Aku yang aku ini, yang berjalan sempoyongan kadang hampir kepleset ini, memasuki sebuah gedung yang setiap harinya aku masuki.

Di hari yang cerah itu, seorang perempuan dengan kudungnya membuatku suram.

"He, Mbak! Ndi kudungmu? Sampeyan ayuan kudungan loh daripada nggak. Lek nggak kudungan uwelek. Lek kudungan uayu," usahanya membuka percakapan. "He, Mbak! Mana kudungmu? Kamu cantikan kudungan loh daripada enggak. Kalau nggak kudungan juwelek. Kalau kudungan cuantik."

Oke.

Mari kita bedah alinea ini baris per baris.

Tampaknya ada sebuah logical fallacy alias kebobrokan berpikir yang tertanam rapi di bawah butiran gula-gula.

Manis.

Tapi busuk.

"Kudungan lebih cantik."

Satu.

Well, "cantik" memang tidak terbatasi bahasannya. Cantik secara fisik atau cantik secara apa kek yang bikin gembira. Tapi ayo dipikir lagi. Kalau cantik secara fisik,

kudungan membuat LEBIH cantik secar FISIK

Ya? Lalu?

Lantas?

Lalu lantas? Merah kuning ijo?

Kalau pun seorang yang punya VAGINA menyematkan kudung di atas kepalanya lalu wajahnya berubah jadi lebih cantik, lantas ...

Itukah alasanmu untuk berkerudung? Itukah alasanmu meworo-worokan kudung yang kamu banggakan itu njeketek karena sebuah alasan FISIK ... agar terlihat LEBIH cantik?

Well, humans ...

Listen to me carefully.

Jutaan perempuan di luar sana berjuang untuk bebas mengenakan kudungnya tanpa memikirkan bagaimanapun bentuk fisiknya asalkan dia merasa damai atas pilihannya. Merasa damai atas kepercayaannya. Merasa damai atas Tuhannya.

Dan seseorang di dekat sini memutuskan berkerudung sereceh agar fisiknya terlihat lebih cantik SAJA?

Dan berakhir di sanalah upayanya untuk mengajak kaum-kaumnya berkerudung.

Logical fallacy. Kebobrokan berpikir. CONTRENG.

Kembali ke sore yang cerah namun mendadak suram itu.

Seandainya.

Seandainya.

Seandainya Insani remaja yang berkobar-kobar amarahnya nun mencuat-cuat kalimat pedasnya tahu-tahu merasuki dan Insani uzur sore itu tak terkendali,

bisa berdarah telinga mbak berkudung—karena ingin dilihat cantik itu—mendengar balasan ini:

Baiklah. Kalau nggak berkerudung membuatku lebih jelek dan Mbak nyuruh aku berkerudung, apakah Mbak bisa putuskan pacarmu SEKARANG agar kita sama-sama tidak pacaran dan sama-sama adil karena saling mengiyakan?

Bisa?

Sayangnya, Insani uzur terlalu tak bertenaga untuk membakar api kemarahan.

Insani uzur memilih untuk senyum .... Diam. Keplas. Ngalih.

Kalau kamu berpikir berkerudung adalah sebuah KEWAJIBAN di agamamu sehingga saat perempuan lain tidak menjalankannya padahal kamu menjalankannya, itu membuatmu merasa lebih unggul ...

Sudahkah kamu tahu perempuan yang kamu ajak bicara itu menjalankan hal lain yang kamu TIDAK PERNAH MAMPU jalankan.

Mari kita pikir baik-baik:

Tidak berpacaran.

Adalah kewajiban lain yang kamu tahu ... tapi kamu pura-pura tidak tahu-menahu.

Sebelum menyuruh perempuan lain berkerudung, ingatlah kalau kamu sedang TIDAK menjalankan kewajiban agamamu di sisi yang lain.

Aku ulang.

Ingatlah kalau kamu sedang TIDAK menjalankan kewajiban agamamu di sisi yang lain.

Kamu juga pelanggar.

Bukan dia saja.

Kamu pikir kerudung milik agamamu?

Dan lagi, terakhir.

Kamu pikir semua perempuan—yang pernah—berkerudung seagama denganmu?



:)

Post a Comment:

Kind words come from kind heart